Kamis, 10 Maret 2011

PERLINDUNGAN TKI TIDAK BISA DISERAHKAN SWASTA

PERLINDUNGAN TKI TIDAK BISA DISERAHKAN SWASTA


Menyikapi masalah TKI dari sisi aturan atau perundang-undangan menurut Anggota Komisi IX DPR ada yang terkait dan tidak terpisahkan, yaitu Konvensi PBB Tahun 1990 tentang Perlindungan Hak Buruh Migran dan Keluarganya yang sampai saat ini belum diratifikasi pemerintah Indonesia.
            Mengapa kita perlu meratifiksi konvensi PBB tersebut ? karena Negara Indonesia dikategorikan sebagai negara pengirim buruh migrant, maka sudah semestinya kita meratifikasi konvensi tersebut.
            Keuntungannya adalah sebagai proses perlindungan bagi buruh migran secara menyeluruh. Mulai dia direktur sampai  kembali ke tanah air. Dan konvensi tersebut produk legislasi yang berkaitan dengan ketenagakerjaan di dalam negeri.
            Dalam konvensi PBB 1990, Negara memiliki kewajiban untuk melaporkan secara berkala pada PBB apakah berjalan dengan baik atau tidak. “ Hal ini bagus, agar dorongan kinerjanya lebih baik.
            Pada awalnya pemerintah menolak untuk meratifikasi konvensi ini, namun sekarang pemerintah tidak punya alas an lagi untuk menolak. Melalui Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Kemenakertrans), Pemerintah sudah minta anggaran untuk meratifikasi Konvensi PBB Tahun 1990.
            Itu yang menjadi tugas pemerintah, sedangkan yang menjadi tugas legislatif, Anggota DPR melihat ada dua yang mendesak yaitu Undang-undang Perlindungan Pembantu Rumah Tangga (PRT) dan revisi Undang-undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatanan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesi di Luar Negeri.
            UU Perlindungan PRT dikatakan penting, pertama tidak hanya untuk melindungi PRT di dalam negeri tetapi juga sebagai skema perlindungan bagi mereka yang berada di luar negeri.
            Namun kemarin masalah UU Perlindungan PRT sempat mengundang pro dan kontra, karena Undang-undang ini dianggap akan mengkriminalisasi majikan. Padahal sebenarnya temanya sebagai perangkat hukum perlindungan terhadap PRT dan PRT harus dianggap sebagai profesi.Dianggap sebagi profesi, artinya dia akan mendapatkan perlindungan hukum sesuai Undang-undang Ketenagakerjaan yang ada.
            Jadi tidak bisa lagi kedepannya untuk di tanah air pun orang menjadi PRT itu karena tidak punya masa depan tapi betul-betul karena pilihan. Dia memilih menjadi profesi PRT, artinya dia harus professional, harus terdidik dan terlatih. Kalai harus terdidik dan terlatih itu menjadi tanggung jawab Negara.
            Kedua mengapa UU Perlindunan PRT penting, karena sebagai modalitas kita dalam melakukan MoU dengan Negara tujuan buruh migran kita. “ Ketika kita minta PRT kita dilindungi dengan hukum yang ada disana, mereka selalu mengatakan di Negara kamu saja tidak dilindungi, jangan minta Negara kami untuk melindungi.
            Dalam UU Perlindungan PRT nantinya selain mengatur hak-hak PRT juga akan diatur kewajiban-kewajiban yang harus dimiliki oleh seorang PRT.
            Kemudian Revisi UU Nomor 39 Tahun 2004. Secara makro dari 109 pasal UU Nomor 39 Tahun 2004, mayoritas hanya mengatu tentang tata niaganya bukan perlindungan terhadap warga Negara yang menjadi TKI. “Namanya saja UU tentang Penempatan dan Perlindungan, seolah-olah perlindungan menjadi nomor dua”.
            “Kita meratifikasi UU Nomor 39 Tahun 2004 dengan subtansi meletakan dengan jelas mana tanggung jawab Negara, mana tanggung jawab swasta dan mana tanggung jawab swasta dan mana tanggung jawab TKI”.
            Semua peraturan perundang-undangan harus selalu berpegang pada konstitusi Negara yang merupakan sumber dari segala sumber hukum. Dalam pembukaan ditegaskan secara jelas, bahwa tugas Negara adalah melindungi, mencerdaskan kehidupan bangsa dan kesejahteraan social. Artinya tidak bisa lagi didalam suatu peraturan, perlindungan diserahkan kepada swasta.
            UU Nomor 39 Tahun 2004 maupun Peraturan Menteri Nomor 14 Tahun 2010, monitoring yang skemanya untuk di luar negeri diserakhan kepada Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta ( PPTKIS), begitulah dengan pelatihan. Tidak mungkin swasta berhadapan dengan otoritas Negara orang. “ Jika persoalan PPTKIS ada yang nakal, beri sanksi. Tapi bukan berarti bahwa kewajiban Negara harus dilimpahkan kepada swasta.
            Pelatihan bagi calon TKI yang akan dating ke luar negeri juga menjadi tanggung jawab Negara. Sebagai amanat Konvensi PBB, proses perlindungan bagi buruh migran harus dilakukan secara menyeluruh, baik dari mulai keberangkatan dia harus terdidik dan terlatih sampai kembali ke tanah air.
            Philipina memiliki kategori yang sama, memiliki buruh migran yang mayoritas juga PRT. Tapi di Philipina jelas, pelatihan dan perlindungan menjadi tanggung jawab Negara. Swasta hanya pada rekruitmen saja. Keputusan orang bisa berangkat atau tidak ada di tangan Negara. Artinya keputusan itu bukan hanya mengeluarkan surat akreditasinya, tapi disiapkan pula pelatihannya.
BLK Tidak Berfungsi
            Kita memliki Balai Latihan Kerja (BLK) yang bisa dimanfaatkan untuk pelatihan TKI,namun saying BLK-BLK itu berfungsi dengan baik. Mestinya BLK difungsikan untuk pelatihan kerja baik dalam negeri maupun luar negeri.
            Sebetulnya semua permasalahan terletak pada penyediaan lapangan kerja di dalam negeri. Ketika lapangan kerja dalam negeri tidak mampu menyediakan, orang punya inisiatif untuk bekerja ke luar negeri. Yang perlu dilakukan Negara adalah mempersiapkan pelatihannya.
            Kondisi TKI kita yang terbebani berbagai biaya namun minim perlindungan dari Negara. “TKI ini tidak membebani Negara, malahan membantu. Namun untuk pelatihan saja dia harus bayar, semua dibebankan kepada TKI mulai dari perekrutan, pengurusan dokumen, airpot tax sampai jasa perusahaan.
            Pada kasus Sumiyati, PPTKIS menyatakan sudah pelatihan tetapi kenyatannya Sumiyati tidak bisa Bahasa Inggris dan Bahasa Arab. Sayang PPTKISnya sampai sekarang tidak dikenakan sanksi apapun. Padahal sudah jelas dia mengirim orang tidak terdidik. Kemudian ada argumen dari PPTKIS menyatakan bahwa Sumiyati tidak berpendidikan.
            “Di undang-undangnya sendiri tidak jelas. Pokoknya memiliki ijazah terakhir. Ijazahnya terakhirnya apa? SD? SMP? SMA? Bahkan di permen yang baru syarat pendidikan itu dihilangkan sama sekali. Namun selalu dijadikan alasan bahwa TKInya tidak terdidik.
            Ketika tidak terdidik dan terlatih ada mekanisme yang salah di Negara. Karena peraturannya dalam konstitusi kita, Negara yang harus memberikan pendidikan untuk masyarakat.
            Kasus Sumiyati adalah salah satu contoh dari yang tidak terdidik, bagaimana dengan yang terdidik. Kasus perawat Indonesia di Saudi yang mengalami kecelakaan kerja namun sudah 3 (tiga) bulan mayatnya belum bisa dipulangkan, dia terdidik dan bisa bahasa inggris. PPTKISnya resmi, dokumen resmi dan pemerintah Saudi sudah mengeluarkan exit permit untuk bisa keluar. Mengapa dia tidak bisa keluar, ternyata paspornya terkirim ke Riyadh.
            Inikan sudah bukan wewenang swasta lagi, birokrasi Negara kita dengan birokrasi disana. Ternyata untuk mereka yang terdidik saja perlindungan Negara tidak ada. Jadi kalau menyalahkan TKInya tidak bisa. Dia pergi dengan tidak terdidik sudah salah. Tetapi sudah terdidik saja tidak terlindungi lebih salah lagi.

Referensi :
Parlementaria















Tidak ada komentar:

Posting Komentar