Kamis, 24 Maret 2011

DEMI LANCARNYA PROYEK INFRASTRUKTUR

DEMI LANCARNYA PROYEK  INFRASTRUKTUR


Persoalan di tanah di Indonesia yang selama ini menjadi bidang konflik dalam waktu dekat akan memiliki paying hukum. Rancangan Undang-Undang (RUU) Pertahanan dan RUU Pengadaan Tanah yang disebut sebagai turunan dari Undang-Undang (UU) Poko Agraria itu diajukan oleh Ketua Badan Pertahanan Nasional (BPN) ke Komisi II DPR.
RUU Pertahanan akan mengatur tentang hak-hak, baik orang perseorangan maupun badan hukum dalam memiliki tanah ataupun mengelola lahan. Yang harus diatur dalam undang-undang, nantinya adalah soal berapa luas perseorangan bisa memiliki lahan pertanian, berapa luas badan hukum bisa memiliki lahan pertanian, dan berapa luas orang perseorangan atau badan hukum memiliki lahan non-pertanian.
            Sedangkan, RUU Pengadaan Tanah akan mengatur empat aspek, yakni pengadaan tanah selain untuk kepentingan umum, mekanisme pendanaan pengadaan tanah, kelembagaan yang dapat mendukung pengadaan tanah untuk kepentingan umum secara menyeluruh, dan lingkup tugas kelembagaan pengadaan tanah. Unutk lingkup tugas itu, saat ini banyak sekali lembaga yang ikut campur dalam pengadaan tanah.
            Ketua Komisi II menyatakan sepakat mendukung usulan BPN. Ia berharap kedua RUU mampu menyinkronkan perundang-undangan bidang pertahanan yang selama ini tumpang tindih dan saling bertentangan, sekaligus sebagai paying hukum untuk penyelesaian masalah pertanahan.
            Atas diterimanya kedua RUU tersebut untuk dibahas menjadi UU, rencananya, Komisi II akan segera mengadakan rapat kerja dengan berbagai kementrian yang terkait dengan masalah tanah. Harapannya, bisa mendapatkan masukan seputar penyelesaian masalah regulasi pertanahan.
            Kementrian yang dimaksud antara lain Kementrian Keuangan, Kementrian Dalam Negeri, Kementrian Lingkungan Hidup, Kementrian Kehutanan, Kementrian Pertanian, Kementrian ESDM, Kementerian Negara BUMN, dan Kementrian Pekerjaan Umum. Tujuannya, dalam rangka penyelesaian permasalahan pertanahan yang tumpang tindih.
            Pembahasan kedua RUU tersebut, sejatinya merupakan bagian dari program 100 hari pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) di bidang pertanahan. Kebijakan pertanahan nasional tersebut dilahirkan dari rekomendasi Nasional Summit 2009 lalu. Selama ini pengadaan lahan jadi kendala dalam pembangunan infrastuktur.
            Bila BPN dan DPR menganggap dengan adanya kedua UU itu akan menyelesaikan permasalahan pertanahan yang tumpang tindih, maka Konsorsium Pembaruan Agraria yang sudah mengamati proses pembuatan kedua RUU itu sejak tahun 2005, justru berpendapat sebaliknya.
            Di tengah kondisi pengaturan tanah yang tumpang tindih itu, yang diperlukan pemerintah sekarang ini adalah UU yang bisa memayungi, menyinergikan, dan mengharmonikan semua sector agrarian di Indonesia, baik itu disektor kehutanan, pertambangan, maupun pertanian dan lain sebagainya. Apalagi saat ini paling tidak ada 12 UU yang mengatur sector agraria. Jangan lupa dalam urusan sumber daya alam misalnya, di kawasan hutan boleh jadi ada tambang di dalamnya. Pertanyaannya, lalu siapa yang berhak mengelola karena faktanya masing-masing memiliki UU sendiri.
            Kedua RUU tersebut, menurut penilaian, dengan kebijakannya yang sangat lugas memuat skema pembangungan yang bertumpu pada stuktur moneter dan politik investasi yang liberal. Sehingga atas nama proyek infrastruktur, merampas tanah rakyat sangat dilegalkan.
            Perampasan tanah rakyat tersebut, demi lancarnya akses pasar dan barang dagangan. Jelaslah skenarionya bahwa proyek infrastruktur di Indonesia adalah sekoci bagi penyelamatan kapitalisme internasional yang saat ini sedang tergerus krisis.
            Hal itu, dibuktikan dengan adanya tunduhan bahwa proses pengadaan tanah menjadi biang keladi lambatnya keberlangsungan pembangunan, bak siput yang berjalan. Bayangkan, selama tiga tahun terakhir, dari 21 ruas atau 1.700 km rencana jalan tol trans Jawa yang mebutuhkan tanah seluas 6.734 hektare, baru 14% atau 939 hektare tanah yang bisa dibebaskan. Nah, dengan alas an kondisi itulah menilai, pemerintah menjawab dengan mengusulkan RUU Pengadaan Tanah.
            Sebab, menurutnya, peraturan yang dipakai selama ini Peraturan Presiden (Perpres) No. 36 Tahun 2005 tentang Bangunan dan Gedung jo Perpres No.65 Tahun 2006 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum dinilai terlau lembek, karena itu sekarang diupayakan statusnya ditingkatkan menjadi UU agar lebih kuat. Tapi perlu diingat, keluarnya perpres tersebut saat itu ditolak oleh kekuatan masyarakat sipil karena dinilai sebagai alat legitimasi menggusur tanah rakyat seperti yang terjadi pada Era Orde Baru.
            Yang lebih ironis lagi, berdasarkan data yang dimiliki oleh Divisi Kajian dan Kampanye KPA. Pihaknya menduga kuat RUU ini adalah buah dari makelar kebijakan yang malang melintang di Tanah Air.

DISPONSORI OLEH BANK PEMBANGUNAN ASIA

Sebagaimana diketahui, sejak tahun 2007, Asian Development Bank (ADB) telah mengasistensi BPN untuk mengusulkan Undang-undang Pengadaan Tanah melalui proyek yang bernama “Enhancing the Legal and Administrative Framework for Land Project.
Draf UU Pengadaan Tanah mengakomodasi semua hal yang diinginkan oleh ADB. Padahal, inti dari usulan ADB ini bermuara pada liberalisasi property dan tanah.
Telah banyak terbukti, liberalisasi yang diteken pemerintah selama ini kerap dilakukan tanpa pikir panjang dan akhirnya lebih banyak menyulitkan ketimbang memberi untung. Karena itu KPA menghimbau agar rakyat menolak RUU tersebut.
Sementara itu secara substansif, menganggap ada beberapa masalah utama yang mengganjal dalam kedua RUU ini. Pertama, terkait definisi sebuah proyek berstatus kepentingan umum ditetapkan oleh Presiden, terkait definisi sebuah proyek berstatus kepentingan umum ditetapkan oleh Presiden. Hal yang berbahaya karena pengalaman selama ini Hak Menguasai Negara (HMN) di bidang agraria yang diwakilkan kepada departemen sektoral seperti kehutanan, tambang dan pertahanan dengan alas an demi kepentingan nasional, terbukti telah menjadi celah paling sering disalahtafsirkan dam merugikan rakyat.


Referensi :



Tidak ada komentar:

Posting Komentar