P
|
esan singkat
malam tadi membuatku terhenyak. Kuraih remote
televise di sebelahku. Tayangan breaking
news melintas di depan mata, dengan ayahku sebagai ‘bintang utamanya’. Jas hitam
andalannya, dan dasi merah yang biasa dipakaikan ibu setiap pagi, hanya tampak
sekilas di tengah rubungan wartawan bak gula merubungi semut. Langkah kakinya
yang panjang pun tak bisa membawanya keluar dengan cepat dari gedung Komisi Pemberantas
Korupsi.
Sementara itu, ponsel di sebelahku bordering.
Dengan emosi meledak-ledak, ingin rasanya ponsel itu kubanting. Tapi urung
kulakukan, dan hanya kutekan tombol off-nya.
Aku beranjak menuju tempat tidur. Kudekap
guling erat-erat. Kutarik selimut lebih rapat. Namun, mataku tidak mau menutup,
dan pikiranku berkelana ke mana-mana.
Besok pagi, wartawan pasti sudah
memblokade rumahKu. Deruman bunyi klakson mobil menyesakkan kepalaku. Ibukota
di pukul delapan pagi terlihat padat, menyiasakan karyawan-karyawan swasta yang
berlari berkejaran dengan waktu. Sepanjang malam, bola mataku terus
bergerak-gerak, tak bisa diam. Dan tadi, aku hanya bisa memejamkan mata kurang
dari sejam.
Di persimpangan jalan, mobilku
berbelok pelan, memutar menuju pintu masuk lobby sebuah hotel.
Tak ada wartawan! Untunglah!
Salah seorang bodyguard sewaan ayah mendekap dan mendorongku masuk ke dalam hotel,
menuju sebuah lift yang langsung terbuka. Lift itu langsung menaikkanku ke
lantai atas. Entahlah, tapi aku berharap lift bisa membawaku naik terus, hingga
ke bulan.
Di sofa kamar, ibuku duduk dalam
diam. Matanya sembab, walau kutahu dia berusaha menutupinya dengan concealer.
“Maaf soal ini, ya, Wari,” ucapnya
pelan dengan senyum terpaksa.
“Kenapa Ibu harus minta maaf?”
“Soal ayahmu.”
Diam memerangkap kami lagi sebentar.
“Bu, apa Ibu percaya ayah melakukan
hal itu?”
“Wari, Ibu kenal ayahmu sejak
puluhan tahun lalu. Ibu tahu benar siapa dia, dan bagaimana sifatnya.”
Ibu beranjak menuju jendela dan
menyentuhnya, menatap mentari yang sedang naik menghiasi atmosfer kelabu Jakarta.
Kupeluk ibu, dan perlahan berkata, “Aku
juga percaya ayah, Bu.”
“27 message received, “begitu bunyi teks yang muncul di layar ponselku.
Lima pesan di antaranya adalah undangan wawancara dari berbagai media. Sisanya ucapan
semangat dari teman-teman sekolah.
Tiba-tiba sebuah nomor tak dikenal
memanggil.
Aku agak ragu
untuk menjawabnya.
“Ya, halo?”
“Halo. Dengan Mbak Prameswari?”
Sial. Firasatku benar. Suara tegas
seorang wartawan. Kuputus sambungannya. Biar saja, silakan mereka koar-koar di
media bahwa anak jajaran atas KPK tidak sopan karena mematikan telepon
tiba-tiba.
Mobil APV yang kutumpangin akhirnya
berhenti di depan kantor kepolisian. Dini hari, masih jam dua. Pucuk daun pun
tak tampak. Tapi hanya inilah waktu yang pas. Saat wartawan tidak dalam energy tertingginya.
Kulangkahkan kaki ke luar. Dengan bodyguard yang sama saat aku baru tiba
di ibukota, aku dilindungin dan masuk ke kantor polisi itu. Remang-remang,
dengan lampu neon yang menguning, aku menelusuri selasar kantor bernuansa krem.
Ibu sepertinya tertahan di luar. Wartawan
tampaknya sudah menyadari keberadaan kami. Sengaja aku disuruh masuk duluan,
supaya aku tak jadi mangsa mereka.
Di persimpangan selasar di depan,
aku berbelok, dan masuk ke dalam sebuah ruangan. Napasku tertahan, melihat
seorang duduk di sana. Matanya kuyu, dan bajunya tak serapih biasanya.
Kami berbasa-basi, tapi tak yakin
juga bahwa ini waktu yang tepat untuk berbasa-basi. Semakin lama aku mengobrol
dengannya, makin deras air mataku jatuh. Terisak bermenit-menit hingga akhirnya
ibuku tiba di ruangan yang sama.
Yang aku tangkap hanyalah aku akan
libur dari sekolah, dan pengakuan ayahku bahwa beliau tak bersalah.
Deringan ponsel lagi-lagi
membangunkanku di waktu matahari masih menanjak naik. Kulihat nomor asing itu
lagi. Si wartawan tak tahu malu. Kubiarkan saja. Biar dia lelah sendiri.
Tapi, dia malah mengirimiku SMS. Masih
mengenai izin untuk wawancara. Hampir merepet aku karenanya. Kubiarkan lagi. Peduli
setan dengannya.
Bunyi bel kamar terdengar nyaring di
telingaku. Aku bangkit dan mengintip siapa yang ada di depan pintu.
Ibuku.
Kubuka pintu lebar-lebar, membiarkan
beliau masuk.
“Wari, apa kamu sudah sarapan? Mau
sarapan dibawah atau disini saja?”
Ibu mengangkat telepon di sampingku,
memesan makanan. Aku masih duduk diam, kepalaku pusing, dan mataku berat.
Bellboy
sudah datang dan mengantarkan beberapa makanan yang luar biasa untuk pagi
itu. Aku hanya berdecak, semoga saja ayah bisa segera merasakan makanan seperti
ini.
Sorenya, ibuku dipanggil Polisi
untuk dimintai keterangan. Aku sendirian di hotel. Melihat-lihat, apa kiranya
yang bisa kulakukan. Awalnya, aku cukup puas melihat ibukota dari balkon kamar,
tapi lama-lama aku bosa juga.
Kulihat, birunya kolam renang di
bawah cukup menggoda. Segera kuambil peralatan yang kubutuhkan, dan turun ke
lantai paling bawah. Gagasan berenang sudah membuatku segar bahkan sebelum aku
menceburkan diri.
Sore itu kuhabiskan dengan berenang.
Sementara itu, si bodyguard tetap berjaga di sekeliling kolam. Dalam keadaan
seperti ini, ibu tak akan membiarkanku sendiri di tempat umum.
“Hei, Om!” Yang dipanggil hanya
melirik. Ragu apakah aku benar-benar memanggilnya.
“Iya,Om Bodyguard ! Ke sini!” Dia
beranjak dari tempat duduknya di pinggir kolam.
“Maaf. Ada apa?” tanyanya pelan.
“Bisa kau carikan aku keripik
kentang?”
Mukanya mulai meragu. “Err, di sini
tak ada yang menyediakan makanan seperti itu.”
“Tapi di minimarket sebelah hotel ada.”
“Mmm, ya. Apa aku harus mencarinya?”
“Tentu. Dengan beberapa kaleng soda,
dan keripik lainnya. Bisa?”
Mukanya berubah. Optimis. “Tentu
bisa.”
“Baiklah. Sambil menunggu, aku akan
meneruskan berenang di sini. Tapi, bisa kau pakai uangmu dulu ? aku tak membawa
uang, soalnya.”
“Tentu.” Dan bodyguard itu pun menghilang. Aku tersenyum, lalu segera bangkit
dari kolam, mandi dan berpakaian sekenanya. Sementara bodyguard itu masih tak tampak, aku melarikan diri ke luar hotel. Mencari
angkutan umum, dan naik.
Mentari sore makin menggelincir,
seolah-olah berkata, welcome to the
jungle.
Sumpah, kunjunganku ke ibukota bisa
dihitung dengan jari. Saat karyawisata ke Dufan, dan saat pelantikan ayahku. Aku
pun tak tahu persis di mana tempatku menginap, dan daerah-daerah sekitarnya. Termasuk
daerah ini.
Busway meluncur tersendat di tengah
jam pulang warga ibukota. Macet luar biasa. Saat bus itu berhenti di halte
berikutnya, aku segera turun. Uangku sudah menipis, dan aku tak tahu di mana
aku berada. Hape pun aku tinggal. Tapi itu cukup untuk membayar senyumku hari
itu. Aku sudah terlalu lelah beberapa waktu belakangan.
Aku pun menanyakan orang-orang
sekitarku arah menuju Monas. Dan aku berhasil tiba disana saat langit sudah
gelap. Tak tahu berapa langkah telah kubuat. Aku berjalan masuk, dan duduk di
pinggir taman. Ternyata Monas memang tinggi, gumamku.
Tak beberapa jauh dariku, ada
seorang lelaki muda duduk dan mendesah pelan. Mungkin pergi ke Taman Monas
adalah ritualnya saat gundah. Kudekati, dan kutanya.
“Maaf. Saya memang orang asing. Anda
kelihatannya ada masalah. Bisa saya bantu?”
Mukanya kaget sebentar. “Ha ha,
tidak ada apa-apa. Sudah makan ?”
“Belum sih, tapi aku tak punya …”
“Ayo, kita makan. Kutraktir.”
Gagasan
ditraktir oleh asing harusnya membuatku was-was. Tapi, aku toh ikut juga
dengannya. Dan aku tak ingin memikirkan bagaimana perasaan ibu yang mencariku. Cara
pulang dan kemarahan beliau, urusan nanti. Yang penting aku makan dulu.
Soto di warung tenda menguarkan
aroma yang tak dapat kutolak. Aku seperti orang kelaparan di hadapan lelaki
itu. Kalap, dengn sendok yang kuisi penuh. Tak sampai lima menit, makananku
sudah habis, padahal namanya pun aku tak tahu.
‘Terima kasih,” ucapku sambil
meneguk teh hangat.
Dia tertawa sendiri. “Kamu seperti
anak hilang.
Namamu siapa?”
“Tyo. Terima kasih kembali karena
menemaniku makan. Sekolah?”
“Ya. SMA di Bandung.”
Dia kaget sendiri. “Aku juga SM di
Bandung.
Kuliah di UI,
dan sekarang freelance.”
“Wah, hebat!” Aku terkagum-kagum.
“He he. Tapi begini-begini, aku
masih 20 tahun,
Lho. SMP dan
SMA-ku aksel.”
Aku tambah bengong. Lalu kami
bercerita-cerita.
Hingga malam
melarut.
Dia mengantarkanku kembali ke hotel
debgab motor bebeknya. Saat aku turun dan mengembalikan helmnya, dia bertanya, “Boleh
minta nomor hapemu?”
Aku tersenyum dan kuketikkan
nomorku. Saat akan di-save, muncul kaa-kata ‘This
concact already exists.’
Aku
kaget, dan mencoba melihatnya.
‘Prameswari-putri
pejabat’, begitu namaku tertera.
Aku tersenyum
simpul dan mengembalikan hapenya.
Ternyata wartawan
itu.
“Kebetulan sekali. Aku ingin
mengonfirmasi bahwa aku tak ingin diwawancarai. Ayahku memang tak bersalah, dan
waktu akan membuktikannya,”
Ucapku pelan.
Aku berjalan menuju hotel yang
tinggal beberapa langkah lagi. Kulihat wajahnya pias dan pucat tak percaya,
serupa purnama di puncak langit sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar