Senin, 30 April 2012

CICAK DAN PEMBURU BERITA

P

esan singkat malam tadi membuatku terhenyak. Kuraih remote televise di sebelahku. Tayangan breaking news melintas di depan mata, dengan ayahku sebagai ‘bintang utamanya’. Jas hitam andalannya, dan dasi merah yang biasa dipakaikan ibu setiap pagi, hanya tampak sekilas di tengah rubungan wartawan bak gula merubungi semut. Langkah kakinya yang panjang pun tak bisa membawanya keluar dengan cepat dari gedung Komisi Pemberantas Korupsi.
            Sementara itu, ponsel di sebelahku bordering. Dengan emosi meledak-ledak, ingin rasanya ponsel itu kubanting. Tapi urung kulakukan, dan hanya kutekan tombol off-nya.
            Aku beranjak menuju tempat tidur. Kudekap guling erat-erat. Kutarik selimut lebih rapat. Namun, mataku tidak mau menutup, dan pikiranku berkelana ke mana-mana.
            Besok pagi, wartawan pasti sudah memblokade rumahKu. Deruman bunyi klakson mobil menyesakkan kepalaku. Ibukota di pukul delapan pagi terlihat padat, menyiasakan karyawan-karyawan swasta yang berlari berkejaran dengan waktu. Sepanjang malam, bola mataku terus bergerak-gerak, tak bisa diam. Dan tadi, aku hanya bisa memejamkan mata kurang dari sejam.
            Di persimpangan jalan, mobilku berbelok pelan, memutar menuju pintu masuk lobby sebuah hotel.
            Tak ada wartawan! Untunglah!
            Salah seorang bodyguard sewaan ayah mendekap dan mendorongku masuk ke dalam hotel, menuju sebuah lift yang langsung terbuka. Lift itu langsung menaikkanku ke lantai atas. Entahlah, tapi aku berharap lift bisa membawaku naik terus, hingga ke bulan.
            Di sofa kamar, ibuku duduk dalam diam. Matanya sembab, walau kutahu dia berusaha menutupinya dengan concealer.
            “Maaf soal ini, ya, Wari,” ucapnya pelan dengan senyum terpaksa.
            “Kenapa Ibu harus minta maaf?”
            “Soal ayahmu.”
            Diam memerangkap kami lagi sebentar.
            “Bu, apa Ibu percaya ayah melakukan hal itu?”
            “Wari, Ibu kenal ayahmu sejak puluhan tahun lalu. Ibu tahu benar siapa dia, dan bagaimana sifatnya.”
            Ibu beranjak menuju jendela dan menyentuhnya, menatap mentari yang sedang naik menghiasi atmosfer kelabu Jakarta.
            Kupeluk ibu, dan perlahan berkata, “Aku juga percaya ayah, Bu.”
            “27 message received, “begitu bunyi teks yang muncul di layar ponselku. Lima pesan di antaranya adalah undangan wawancara dari berbagai media. Sisanya ucapan semangat dari teman-teman sekolah.
            Tiba-tiba sebuah nomor tak dikenal memanggil.
Aku agak ragu untuk menjawabnya.
            “Ya, halo?”
            “Halo. Dengan Mbak Prameswari?”
            Sial. Firasatku benar. Suara tegas seorang wartawan. Kuputus sambungannya. Biar saja, silakan mereka koar-koar di media bahwa anak jajaran atas KPK tidak sopan karena mematikan telepon tiba-tiba.
            Mobil APV yang kutumpangin akhirnya berhenti di depan kantor kepolisian. Dini hari, masih jam dua. Pucuk daun pun tak tampak. Tapi hanya inilah waktu yang pas. Saat wartawan tidak dalam energy tertingginya.
            Kulangkahkan kaki ke luar. Dengan bodyguard yang sama saat aku baru tiba di ibukota, aku dilindungin dan masuk ke kantor polisi itu. Remang-remang, dengan lampu neon yang menguning, aku menelusuri selasar kantor bernuansa krem.
            Ibu sepertinya tertahan di luar. Wartawan tampaknya sudah menyadari keberadaan kami. Sengaja aku disuruh masuk duluan, supaya aku tak jadi mangsa mereka.
            Di persimpangan selasar di depan, aku berbelok, dan masuk ke dalam sebuah ruangan. Napasku tertahan, melihat seorang duduk di sana. Matanya kuyu, dan bajunya tak serapih biasanya.
            Kami berbasa-basi, tapi tak yakin juga bahwa ini waktu yang tepat untuk berbasa-basi. Semakin lama aku mengobrol dengannya, makin deras air mataku jatuh. Terisak bermenit-menit hingga akhirnya ibuku tiba di ruangan yang sama.
            Yang aku tangkap hanyalah aku akan libur dari sekolah, dan pengakuan ayahku bahwa beliau tak bersalah.
            Deringan ponsel lagi-lagi membangunkanku di waktu matahari masih menanjak naik. Kulihat nomor asing itu lagi. Si wartawan tak tahu malu. Kubiarkan saja. Biar dia lelah sendiri.
            Tapi, dia malah mengirimiku SMS. Masih mengenai izin untuk wawancara. Hampir merepet aku karenanya. Kubiarkan lagi. Peduli setan dengannya.
            Bunyi bel kamar terdengar nyaring di telingaku. Aku bangkit dan mengintip siapa yang ada di depan pintu.
            Ibuku.
            Kubuka pintu lebar-lebar, membiarkan beliau masuk.
            “Wari, apa kamu sudah sarapan? Mau sarapan dibawah atau disini saja?”
            Ibu mengangkat telepon di sampingku, memesan makanan. Aku masih duduk diam, kepalaku pusing, dan mataku berat.
            Bellboy sudah datang dan mengantarkan beberapa makanan yang luar biasa untuk pagi itu. Aku hanya berdecak, semoga saja ayah bisa segera merasakan makanan seperti ini.
            Sorenya, ibuku dipanggil Polisi untuk dimintai keterangan. Aku sendirian di hotel. Melihat-lihat, apa kiranya yang bisa kulakukan. Awalnya, aku cukup puas melihat ibukota dari balkon kamar, tapi lama-lama aku bosa juga.
            Kulihat, birunya kolam renang di bawah cukup menggoda. Segera kuambil peralatan yang kubutuhkan, dan turun ke lantai paling bawah. Gagasan berenang sudah membuatku segar bahkan sebelum aku menceburkan diri.
            Sore itu kuhabiskan dengan berenang. Sementara itu, si bodyguard tetap berjaga di sekeliling kolam. Dalam keadaan seperti ini, ibu tak akan membiarkanku sendiri di tempat umum.
            “Hei, Om!” Yang dipanggil hanya melirik. Ragu apakah aku benar-benar memanggilnya.
            “Iya,Om Bodyguard ! Ke sini!” Dia beranjak dari tempat duduknya di pinggir kolam.
            “Maaf. Ada apa?” tanyanya pelan.
            “Bisa kau carikan aku keripik kentang?”
            Mukanya mulai meragu. “Err, di sini tak ada yang menyediakan makanan seperti itu.”
            “Tapi di minimarket sebelah hotel ada.”
            “Mmm, ya. Apa aku harus mencarinya?”
            “Tentu. Dengan beberapa kaleng soda, dan keripik lainnya. Bisa?”
            Mukanya berubah. Optimis. “Tentu bisa.”
            “Baiklah. Sambil menunggu, aku akan meneruskan berenang di sini. Tapi, bisa kau pakai uangmu dulu ? aku tak membawa uang, soalnya.”
            “Tentu.” Dan bodyguard itu pun menghilang. Aku tersenyum, lalu segera bangkit dari kolam, mandi dan berpakaian sekenanya. Sementara bodyguard itu masih tak tampak, aku melarikan diri ke luar hotel. Mencari angkutan umum, dan naik.
            Mentari sore makin menggelincir, seolah-olah berkata, welcome to the jungle.
            Sumpah, kunjunganku ke ibukota bisa dihitung dengan jari. Saat karyawisata ke Dufan, dan saat pelantikan ayahku. Aku pun tak tahu persis di mana tempatku menginap, dan daerah-daerah sekitarnya. Termasuk daerah ini.
            Busway meluncur tersendat di tengah jam pulang warga ibukota. Macet luar biasa. Saat bus itu berhenti di halte berikutnya, aku segera turun. Uangku sudah menipis, dan aku tak tahu di mana aku berada. Hape pun aku tinggal. Tapi itu cukup untuk membayar senyumku hari itu. Aku sudah terlalu lelah beberapa waktu belakangan.
            Aku pun menanyakan orang-orang sekitarku arah menuju Monas. Dan aku berhasil tiba disana saat langit sudah gelap. Tak tahu berapa langkah telah kubuat. Aku berjalan masuk, dan duduk di pinggir taman. Ternyata Monas memang tinggi, gumamku.
            Tak beberapa jauh dariku, ada seorang lelaki muda duduk dan mendesah pelan. Mungkin pergi ke Taman Monas adalah ritualnya saat gundah. Kudekati, dan kutanya.
            “Maaf. Saya memang orang asing. Anda kelihatannya ada masalah. Bisa saya bantu?”
            Mukanya kaget sebentar. “Ha ha, tidak ada apa-apa. Sudah makan ?”
            “Belum sih, tapi aku tak punya …”
            “Ayo, kita makan. Kutraktir.”
              Gagasan ditraktir oleh asing harusnya membuatku was-was. Tapi, aku toh ikut juga dengannya. Dan aku tak ingin memikirkan bagaimana perasaan ibu yang mencariku. Cara pulang dan kemarahan beliau, urusan nanti. Yang penting aku makan dulu.
            Soto di warung tenda menguarkan aroma yang tak dapat kutolak. Aku seperti orang kelaparan di hadapan lelaki itu. Kalap, dengn sendok yang kuisi penuh. Tak sampai lima menit, makananku sudah habis, padahal namanya pun aku tak tahu.
            ‘Terima kasih,” ucapku sambil meneguk teh hangat.
            Dia tertawa sendiri. “Kamu seperti anak hilang.
Namamu siapa?”
            “Tyo. Terima kasih kembali karena menemaniku makan. Sekolah?”
            “Ya. SMA di Bandung.”
            Dia kaget sendiri. “Aku juga SM di Bandung.
Kuliah di UI, dan sekarang freelance.”
            “Wah, hebat!” Aku terkagum-kagum.
            “He he. Tapi begini-begini, aku masih 20 tahun,
Lho. SMP dan SMA-ku aksel.”
            Aku tambah bengong. Lalu kami bercerita-cerita.
Hingga malam melarut.
            Dia mengantarkanku kembali ke hotel debgab motor bebeknya. Saat aku turun dan mengembalikan helmnya, dia bertanya, “Boleh minta nomor hapemu?”
            Aku tersenyum dan kuketikkan nomorku. Saat akan di-save, muncul kaa-kata ‘This concact already exists.’
            Aku kaget, dan mencoba melihatnya.
‘Prameswari-putri pejabat’, begitu namaku tertera.
Aku tersenyum simpul dan mengembalikan hapenya.
Ternyata wartawan itu.
            “Kebetulan sekali. Aku ingin mengonfirmasi bahwa aku tak ingin diwawancarai. Ayahku memang tak bersalah, dan waktu akan membuktikannya,”
Ucapku pelan.
            Aku berjalan menuju hotel yang tinggal beberapa langkah lagi. Kulihat wajahnya pias dan pucat tak percaya, serupa purnama di puncak langit sana.